Penggiringan Opini Tanpa Dasar Bisa Berujung Penjara, Ini Penjelasan Kuasa Hukum Rizqy Fajarreza

Indramayu, MandaNews - Maraknya opini publik yang digiring tanpa dasar hukum di media sosial kini menjadi perhatian serius sejumlah pihak.
Salah satunya datang dari Rizqy Fajarreza, Koordinator Aliansi Lucky-Syaefudin (ALUS) Kabupaten Indramayu, yang secara resmi melayangkan laporan pengaduan kepada Polres Indramayu atas dugaan penyebaran berita bohong dan fitnah terhadap Wakil Bupati Indramayu, H. Syaefudin.
“Saya ingin melaporkan orang yang telah menimbulkan kegaduhan serta keresahan publik di sosial media dalam kegiatan viral yang telah menyebarkan berita hoax berupa fitnah terhadap wakil bupati indramayu,” ujar Rizqy dalam surat pengaduannya, Rabu (23/07/2025).
Sementara itu, Kuasa hukum Rizqy Fajarreza, Budianto, S.H., menegaskan bahwa tindakan penggiringan opini yang tidak berdasar termasuk dalam perbuatan pidana pencemaran nama baik.

Budianto menjelaskan bahwa jika penghinaan atau fitnah dilakukan melalui media sosial, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini dengan tegas melarang siapa pun menyebarkan muatan penghinaan secara digital.
“Pasal ini melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,” ujarnya, Kamis (24/07/2025).
Pakar hukum R. Soesilo pernah merinci enam bentuk pencemaran nama baik yang tercantum dalam KUHP dan penjelasannya. Mulai dari fitnah yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, penistaan, hingga tuduhan secara memfitnah.
Budianto menilai apa yang terjadi terhadap Wakil Bupati Indramayu mengarah pada unsur fitnah dan pengaduan palsu.
“Seseorang dianggap melakukan fitnah apabila melakukan penghinaan nama baik, namun tidak dapat membuktikan kebenarannya atau apa yang dituduhkan terdakwa ternyata tidak benar,” kata Budianto mengutip Pasal 434 ayat (1) UU 1/2023.

Tindakan menyebarkan hoaks dan fitnah bukan hanya melukai individu, tetapi juga dapat memicu konflik horizontal di masyarakat.
Reputasi pejabat publik yang diserang tanpa bukti bisa berdampak pada kepercayaan publik dan kestabilan sosial-politik.
“Manipulasi opini publik dapat memperuncing perbedaan pendapat dan memecah belah masyarakat, menciptakan polarisasi yang merugikan,” jelas Budianto.
Untuk pelaku penggiringan opini yang bermuatan fitnah, UU ITE memberikan ancaman hukuman hingga 4 tahun penjara dan denda mencapai Rp750 juta.
Sanksi ini dianggap penting sebagai efek jera atas penyalahgunaan kebebasan berekspresi yang merugikan orang lain.
“Adapun ancaman hukuman pencemaran nama baik, pelaku dapat dijerat pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda penghinaan nama baik paling banyak Rp750 juta,” jelasnya.
Sebagai pelapor, Rizqy Fajarreza mendesak agar aparat penegak hukum menindak tegas para pelaku yang diduga menyebarkan opini negatif terhadap Wakil Bupati Indramayu, yaitu UT, RL, dan AG.
Ia menilai perbuatan mereka berpotensi mengancam ketentraman publik.
“Maka saya sebagai kordinator ALUS dan sebagai masyarakat yang baik dan patuh terhadap Undang-Undang sangat tidak terima adanya berita hoax yang dilakukan oleh saudara UT, RL dan AG yang dapat memframing hal-hal negatif di ranah publik dan memicu akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,” tandas Rizqy.
Budianto menutup dengan pesan agar masyarakat cerdas dalam bermedia sosial. Kritik boleh, tapi jangan sampai berubah menjadi fitnah. Kebebasan berpendapat tetap dibatasi oleh norma hukum dan etika publik.
“Penggiringan opini terhadap apa yang tidak dilakukan oleh Wakil Bupati Indramayu Bapak H. Syaefudin, S.H. merupakan kejahatan yang dapat menyebabkan kerugian baik secara reputasi maupun secara politis,” pungkasnya. (Dwi/red)
Bagikan artikel ini: